Sungguh sangat disayangkan untuk kedua kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak undangan DPR untuk hadir dalam rapat konsultasi yang membahas tentang Rancangan APBN 2012. Alasan KPK menolak hadir karena lembaga ini tak ingin melanggar kode etik, sekaligus ingin menjaga kredibilitas KPK dan DPR. Saat ini KPK memang tengah menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang buntutnya menyeret beberapa pemimpin di Badan Anggaran DPR.
Para antikorupsi saat ini dan pakar hukum tata negara mendukung sikap KPK. Ini karena dalam Undang-Undang KPK disebut secara jelas tentang larangan pemimpin KPK untuk mengadakan hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi. Jelas, kalau KPK memenuhi undangan DPR, kemungkinan mereka bertemu dengan para pemimpin Badan Anggaran akan terbuka lebar. KPK bisa dinilai melanggar undang-undang.
Bayangkan saja pada 25 Agustus lalu, KPK menangkap Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi I Nyoman Suisnaya, Kepala Bagian Evaluasi dan Perencanaan Dadong Irbarelawan serta kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati. Dari pemeriksaan terhadap tiga tersangka ini keluar pengakuan tentang adanya aliran dana senilai Rp 500 miliar yang mengalir ke beberapa pemimpin Badan Anggaran DPR berkaitan dengan proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID).
KPK pun kemudian menindaklanjuti dengan memanggil Melchias Markus Mekeng dari Partai Golkar, Mirwan Amir dari Partai Demokrat, Tamsil Linrung dari PKS dan Olly Dondokambey dari PDI Perjuangan. Keempat orang ini adalah pemimpin Badan Anggaran DPR. Tapi dalam pemeriksaan selanjutnya mereka menolak undangan KPK. Malah mengancam untuk menghentikan pembahasan RAPBN 2012 kalau mereka tetap diperiksa. Selain mengancam boikot, mereka juga meminta hak imunitas atau hak kekebalan hukum sebagai anggota DPR.
Menurut pendapat saya dari kasus ini kita tahu, betapa para politisi ini sesungguhnya mau seenaknya sendiri. Dengan kewenangannya yang begitu besar mengatur anggaran, mereka bisa bermain-main dengan para pelaku proyek. Tapi giliran tersangkut dugaan penyelewengan jabatan, mereka hendak berlindung di balik kekuasaan lembaga. Dugaan praktek suap pribadi hendak ditarik menjadi persoalan kelembagaan, antara DPR dengan KPK. Sungguh sangat pengecut.
Karena itu kita tak ragu untuk mendukung sikap KPK untuk menolak undangan DPR. Meski para pemimpin KPK dipilih melalui mekanisme di DPR, tak berarti DPR bisa mengatur KPK seenaknya. Atau kalau mau jalan tengah agar tak terjadi kebuntuan,undangan DPR kepada KPK harus disertai jaminan tertulis bahwa rapat konsultasi tidak akan dihadiri anggota DPR yang saat ini sedang tersangkut perkara dengan KPK. Ini penting agar kelak KPK tak disalahkan karena melanggar undang-undang. Perseteruan pun bisa diakhiri tanpa melupakan upaya penegakan hukum.
0 komentar:
Posting Komentar